Toxic Positivity dan Benturan dalam Hidup



Source Pict : pexels.com/@rawpixel
As human being kita semua pernah ngerasain segelintir benturan dalam hidup, gaada tuh yang namanya dari lahir hidup kita mulus aja, bahagia aja dari lahir. Tuhan ngeciptain berbagai jenis masalah di dunia ini pun cara pemecahannya supaya kita tahu hidup itu punya banyak warna. Sebelum ke toxic positivity aku mau bahas sedikit tentang benturan dalam hidup. Sebagai manusia terkadang yang mengalami masalah berat dalam hidup kita pasti melalui setiap fase berekspresi ini

NGEYEL
Permulaan ketika kita merasa kaget dengan perubahan drastis dari keadaan yang ada sebelumnya, di tahap ini kita ga percaya dengan kenyataan bahwa semuanya sudah terjadi. Contoh kecilnya disaat kehilangan hal-hal yang bagi kita adalah terpenting dalam hidup.

MARAH
Fase berikutnya kita merasa marah dengan keadaan, marah sama semua orang termasuk ke diri kita sendiri

TAWAR MENAWAR
Kita masuk ke fase tawar-menawar, berfikir keras untuk melakukan cara apapun agar sebuah keadaan bisa kembali ke kondisi yang dulu sekalipun harus merusak diri sendiri

DEPRESI
Tahap ketika kita merasa hampa, hilang arah, gaada tujuan hidup, seakan lenyap dari dunia adalah pilihan terbaik

IKHLAS
Fase yang terakhir adalah ikhlas, kita kembali menemui arti hidup dan cara bahagia yang baru, di tahap ini kita percaya bahwa semua yang telah berlalu adalah hal yang normal.
Semua fase berekspresi diatas adalah hal yang sangat wajar dan tugas kita adalah bagaimana memutar semuanya agar tidak terjebak di satu keadaan secara berlarut-larut .


Nah terus apa sih hubungannya dengan toxic positivity?, beberapa minggu yang lalu aku ngebaca satu thread di twitter tentang toxic positivity, dari situ aku mulai riset dari satu artikel ke artikel lainnya. Masalah mental di negara kita ini kurang mendapatkan penanganan yang tepat, padahal mental illness adalah salah satu penyebab tertinggi bunuh diri setiap tahunnya di dunia. In our society seringkali ketika kita menceritakan masalah justru seolah dipaksa untuk langsung terjun ke fase ikhlas, sering tidaknya pasti kita pernah mengalami toxic positivity atau malah jadi orang yang melakukan toxic positivity. “Udahlah namanya juga hidup, move on lah”, “Yaampun gitu aja lo nangis, lebay banget dah, hidup dibawa santai aja, stay positive!”. Suntikan semangat yang sebenarnya hanya memaksa untuk melupakan masalah bukan berdamai dengan masalah. Honestly, sebagai orang yang kerap jadi tempat curhat, aku sempat terpukul sama topik ini, sikap kita saat temen ada dalam masalah harusnya adalah memberinya ruang untuk sepuas-puasnya mengeluarkan segala keluh kesah, biarkan dia menangis sejadi-jadinya, difase ini kita justru seringkali menyiraminya nasihat, segelintir petuah yang memaksanya berfikir bahwa semuanya baik-baik saja. Padahal tugas kita sederhana, cukup menjadi pendengar yang baik, dan memvalidasi bahwa ekspresi kesedihannya adalah hal yang sangat wajar, disaat ia benar-benar merasa tenang barulah kita menuju tahap akhir membantunya mencari jalan keluar dari masalah, memberikannya beberapa alternatif tapi tentu dengan diksi yang setepatnya. Contoh kecil seperti mengganti kata “Kamu kurang ibadah sih, kurang iman, kurang deket sama Tuhan”, Ntah gedeg banget dah kalo denger penghakiman begini, ini mah bukannya temen kamu jadi terketuk hatinya malah jadi racun yang bikin dia makin ngerasa bahwa dia orang yang negatif. Coba deh diksinya diganti jadi “Coba deh abis ini kamu cerita ke Tuhan”. Bener, sebagai manusia biasa kita ga bisa menggantungkan harapan ke sesama manusia terus menerus, karena sebaik apapun manusia pasti akan ada saatnya kita di kecewakan, dan sebagai umat beragama naluri kita pasti akan mencari tempat pelarian, dan sebaik-baiknya tempat pelarian adalah Tuhan. Percaya deh setelah nangis sejadi-jadinya ke Tuhan kita bakal ngerasa jauh lebih lega.  Whitney Hawkins Goodman, pemilik The Collaborative Counseling Center, telah merangkum perbedaan antara toxic positivity dengan validasi dalam akun Instagram @sitwithwit. Kita bisa mengambil inspirasi kata-kata apa yang lebih baik untuk diucapkan.



“Toxic positivity” can make people feel unsafe about expressing their negativity, and negativity thrives in isolation. - by Sarah Schuster
So, kedepannya ketika temen kamu curhat, belajarlah untuk stop toxic positivity, be a good listener, and validation their feelings. Nah kalian pernah ga ngalamin Toxic Positivity?, coba deh cerita dikolom komentar J

Komentar

  1. baru banget bacaaaa, dan ngerasa pas banget samaa inii๐Ÿ˜– pas itu kepikiran mo nyaranin kamu nulis ini tapi aku kelupaan eh taunya kamu udah post :( dan ternyata bener banget Kee, aku sukaaa semua tulisanmuuu, makasih yaaa๐Ÿค—๐Ÿ’—huhuuu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waaahh makasih banyaakk sudah mampir rin, ditunggu post2 berikutnyaa yaa ๐Ÿ’›๐Ÿ’›๐Ÿ’›

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer