Memanusiakan Manusia

 

“untuk pertama kalinya aku menuliskannya”


Cerita ini ditulis oleh saya sendiri, Khaerunnisa Amrun. Korban perisakan di sekolah 11 tahun yang lalu. Jika ada yang mengetahui dimana aku bersekolah saat itu, kuharap tidak menjadikan kalian menganggap sekolah tersebut buruk, karena pada dasarnya semua sekolah bertujuan mencerdaskan para siswanya.

Aku adalah satu dari sekian banyak korban bullying di sekolah. Sekitar 11 tahun yang lalu tepatnya saat duduk di kelas 3 sekolah dasar, aku mengalami kejadian yang membawa perubahan besar dalam hidupku. 

Saat itu keluargaku memutuskan untuk pindah rumah, mau tak mau aku juga harus pindah ke sekolah yang baru. Kehidupanku sebagai anak usia 8 tahun yang menyenangkan sekejap menjadi kelam. Di sekolah aku mengalami kekerasan fisik yang dilakukan oleh segerombolan siswi di kelasku. Aku pernah merasakan ditampar, ditendang, dan dipukuli. Aku pernah diseret ke tengah lapangan saat terik setelah disiram segelas air mineral. Bahkan, tak ada satupun pekerjaan rumah yang sampai ke tangan guruku sebelum mereka mencoret atau merobeknya. Kekerasan verbal juga setiap hari mereka lontarkan. Gilanya, semua itu dilakukan atas perintah orang tua mereka yang menunggui anak-anaknya di sekolah. Hanya karena isu bahwa aku anak pintar dari sekolah sebelumnya, dan mereka melakukannya agar anak-anaknya tidak tersaingi.

Sampai suatu hari aku yang tak tahan menghadapi semuanya melaporkannya ke wali kelas, dan tebak apa yang kudapatkan hari itu? Wali kelasku mengepalkan tangannya dan memukul kepalaku sambil berkata “lawan dong!”. Ada satu teman yang menyaksikan apa yang kualami setiap hari, ia mungkin mau menolongku tapi takut akan dikerjai juga, dan kebetulan kami berdua kembali bertemu ketika SMK, kami berada di sekolah yang sama tetapi di jurusan yang berbeda. Suatu ketika ia menghampiriku dan meminta maaf karena dulu tidak bisa menolong meski ingin.

Orang tuaku juga tidak menyadari perubahan sikapku yang menjadi pemurung, mereka hanya berfikir aku sedang beradaptasi di sekolah dan lingkungan rumah yang baru. Sampai hari pembagian rapor tiba, nilaiku tertulis rata-rata 6 disana, padahal aku selalu mendapatkan peringkat pertama di sekolah sebelumnya, barulah ibuku menyadari ada sesuatu yang tidak beres, aku ditanyai dan diminta untuk bercerita hari itu, dan akhirnya aku dipindahkan lagi ke sekolah yang baru. Aku tak menyalahkan ibu yang tidak peka dengan anaknya, karena saat itu adikku masih bayi, Bapak juga sibuk bekerja, walaupun sebenarnya juga menjadi pelajaran bagiku saat menjadi orang tua kelak, pentingnya meluangkan waktu untuk bercerita dengan anak setiap harinya, agar mereka tumbuh dengan baik tanpa menyembunyikan hal-hal besar dari orang-orang terdekatnya. 

Soal teman-teman yang merisakku di SD, aku kembali bertemu dengan gerombolan mereka di SMP, kembali dipertemukan di sekolah yang sama. Masih kuingat benar hari dimana mereka membawaku ke pojok kelas sepulang sekolah dan mengancam agar tidak membuka mulut perihal kejadian yang pernah kualami karena mereka. Lagi, aku yang perlahan sembuh kembali merasa luka itu kembali terbuka setelah pertemuanku dengan mereka. 

Di akhir masa-masa SMP, aku mendengar suatu kejadian yang menimpa pelaku kekerasan terhadapku, yang menurutku adalah bentuk karma dari Tuhan atas apa yang mereka lakukan dan semoga bisa menjadikan mereka belajar agar kelak anak-anaknya tidak melakukan kesalahan yang sama seperti mereka.

Dampak bullying menyebabkan trauma berkepanjangan bagiku, masih terasa sakit hingga aku menuliskannya hari ini. Sejujurnya aku adalah anak yang terlahir dengan karakter ceria, mudah akrab dengan banyak orang, dan punya percaya diri yang besar, aku aktif di berbagai kegiatan di depan khalayak ramai saat duduk di taman kanak-kanak seperti fashion show dan berbagai perlombaan lainnya. Tragedi bullying tak hanya meninggalkan luka lebam di beberapa bagian tubuh, tapi juga membunuh karakterku, semenjak itu aku menjadi anak yang penakut, mudah panik, merasa khawatir jika berada di kerumunan orang, aku ketakutan dan sulit beradaptasi di lingkungan yang baru karena trauma itu akan kembali muncul di kepalaku seperti kaset yang memutar sebuah film. 

Sampai hari dimana aku belajar menuliskan apa yang aku rasakan di secarik kertas, aku menemukan kenyamanan, aku membangun dunia kecil dimana aku bisa merasa senang berada di sana, dimana aku bisa menceritakan apapun yang aku rasakan tanpa harus membebani siapapun dan takut dengan respon yang orang-orang berikan. Sepi dan sunyi menjadi kawanku, semenjak keramaian terasa begitu menakutkan. Aku merasa damai di tempat-tempat yang tak banyak ku dengar suara manusia kecuali hembusan angin, kicauan burung, deburan ombak, dan apapun yang disajikan alam semesta membuatku merasa aman, terutama hujan, aku suka sekali suara hujan, aku suka aroma bumi selepas hujan, aku senang dengan awan abu-abu yang datang sebelum hujan jatuh ke daratan. 

Mungkin sedikit tak masuk di akal bagi kalian tentang apa yang aku alami, bagaimana anak berusia 8 tahun bisa menyiksa sebayanya sedemikian kejinya. Aku tak memaksa kalian yang membaca ceritaku untuk percaya karena yang tahu persis bagaimana sakit yang kualami baik secara fisik maupun mental adalah diriku sendiri saat itu, tanpa terkecuali bahkan kedua orang tuaku. Tapi aku harap kalian percaya bahwa bullying/perisakan benar-benar ada, mungkin mudah bagi pelaku untuk melupakannya, tapi sangat menyiksa bagi korbannya, ada hari dimana aku sulit tidur nyenyak, hari dimana aku berangkat sekolah dengan rasa takut, hari-hari yang sulit yang jika saat itu aku mengerti cara pergi dari dunia ini dengan cepat, mungkin aku akan melakukannya alih-alih bungkam dan menderita setiap harinya.

Aku dan kalian yang membaca ini mungkin ada yang sudah menjadi orang tua, atau akan menjadi orang tua. Kita membawa peran besar dalam pendidikan karakter anak, dan bagaimana kita mendidik mereka adalah gambaran tentang apa yang akan mereka bawa di lingkungan dimana mereka akan tumbuh kelak. Aku, kamu dan siapapun yang membaca cerita ini semoga kita dituntun Tuhan untuk menjadi orang tua yang bijaksana bagi putra-putri kita nantinya.

Aku tidak membawa luka masa lalu sebagai dendam, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah memaafkan mereka dan melanjutkan hidup, perlahan belajar untuk percaya diri kembali, menaklukan rasa takut, belajar mengatasi rasa panik dan cemas, walaupun sampai hari ini aku masih kesulitan untuk beradaptasi dengan orang dan lingkungan baru, setidaknya aku bersyukur pada Tuhan, aku menemukan dunia baru dimana aku bisa berbagi apa yang aku rasakan, berbagi isi kepalaku, dan pengalaman-pengalaman yang semoga bisa membawa hal baik bagi pembacanya.

Terima kasih sudah berkenan membaca. Semoga apa yang aku bagikan bisa membawa hal baik bagi kalian ya. Semoga harimu baik.


ilustrasi sampul: Chicago Tribune


Komentar

Postingan Populer