JADI COWOK TUH HARUS KUAT, JANGAN CENGENG!

 “Si paling cowok” sebagai representasi dari budaya Toxic Masculinity

Mungkin bukan lagi sebuah pemandangan asing bagi kita ketika ada seorang anak laki-laki terjatuh, kebanyakan secara otomatis kalimat yang akan keluar dari lisan orang tuanya adalah “gapapa, cowok harus kuat, nggak boleh cengeng”. Sejak kecil laki-laki ditanamkan dengan berbagai hal yang dianggap sebagai maskulin dari standar masyarakat pada umumnya. Tujuannya adalah membentuk si anak menjadi sosok ‘pria sejati’. Alih-alih jadi pria sejati, seiring berjalannya waktu justru hal ini bisa membawa berbagai dampak negatif bukan hanya bagi si anak melainkan juga untuk lingkungan sekitarnya, atau saat ini kita kenal dengan istilah ‘Toxic Masculinity’.

Istilah Toxic Masculinity ini mulai dikenal pada tahun 1980-an, yang saat itu dipopulerkan oleh seorang psikolog Amerika Serikat bernama Shepherd Bliss. Shepherd Bliss yang kemudian menerbitkan sebuah artikel di Yoga Journal berjudul Revisioning Masculinity: A report on the growing men's movement”, dalam artikelnya Bliss menulis tentang gambaran maskulinitas lama yang masih ada yakni seorang pria seharusnya tangguh, menyembunyikan perasaannya dan bertanggungjawab. Akibatnya banyak pria yang harus merasakan tekanan akibat harus memenuhi tuntutan standar maskulinitas yang ada di masyarakat. 

Lindsey Anderson dalam sebuah artikelnya yang dimuat di The Daily Azteg, menulis bahwa banyak norma-norma maskulinitas yang ditanamkan pada anak laki-laki dari mulai tahap awal perkembangannya dan terus dipupuk hingga ia dewasa, laki-laki yang diharapkan menjadi makhluk yang kuat, tangguh dan tabah dan tidak memiliki emosi yang dipengaruhi oleh apapun, dan jika sewaktu-waktu ia menunjukkan kelemahannya secara fisik, atau mengekspresikan emosinya seperti ketakutan atau kesedihan, ia akan disamakan dengan perempuan, hal ini yang akhirnya membentuk kebanyakan pria lebih memilih memendam apapun yang dirasakannya agar definisi ‘pria sejati’ mampu melekat pada dirinya.

Sikap-sikap yang lahir dari budaya toxic masculinity


  1. Kesulitan menyampaikan emosi negatif dalam dirinya, khususnya perasaan sedih dan berbagai keluhan lainnya, karena ia punya perspektif bahwa laki-laki tidak seharunya bersedih atau mengeluh, karena hal ini akan membuatnya terlihat lemah.
  2. Laki-laki boleh bersikap agresif dalam menunjukkan keberanian serta mengungkapkan amarah dengan kekerasan karena menganggap bahwa hal itu merepresentasikan sisi kejantanannya.
  3. Semaksimal mungkin tidak menunjukkan kebutuhan akan kenyamanan dan kehangatan, karena menurutnya laki-laki lah yang bertugas memberikan rasa nyaman dan hangat dan tidak seharusnya ia bergantung pada siapapun.
  4. Munculnya indikasi prilaku misogini (membenci wanita), dalam hal ini membuat seorang laki-laki merasa lebih mendominasi daripada wanita, memandang wanita sebagai sosok yang lebih rendah dari laki-laki dan dapat dikendalikan, bahkan ada kecenderungan memandang wanita sebagai objek pemuas dari sisi seksualitas, yang pada akhirnya berujung pada maraknya kasus kekerasan seksual pada wanita.


Begitu banyak dampak dari toxic masculinity yang bukan hanya bagi si laki-laki namun juga bagi para puan yang ada di sekitarnya, contoh nyatanya ada di depan mata kita saat ini bukan?, begitu banyaknya laki-laki yang cenderung sulit sekali mengungkapkan emosi sedihnya, tidak terbuka dengan masalah apapun yang dialaminya bahkan memilih memendamnya karena ia yakin mampu untuk menyelesaikan semuanya karena ia adalah seorang laki-laki. Jelaslah toxic masculinity sangat buruk khususnya dari sisi kesehatan mental. Tidak hanya itu, bahkan toxic masculinity juga menjadi salah satu akar masalah dari maraknya kekerasan terhadap perempuan, begitu banyak forum yang membahas tentang kekerasan terhadap perempuan yang mengutuk para pelakunya, hingga lahir istilah ‘Men Are Trash’ yang seolah menggeneralisasi bahwa semua laki-laki berperingai buruk. Sayangnya yang luput adalah bagaimana cara laki-laki itu dibentuk sejak kecil, bagaimana tumbuh suburnya budaya patriarki sebagai tempatnya dibesarkan dan membuatnya merasa superior termasuk dalam hal ini berbagai bentuk toxic masculinity yang masih eksis di masyarakat hingga saat ini. Bahkan mungkin tanpa kita sadari kita juga salah satu pelakunya?


Lalu bagaimana cara kita mengatasi bentuk toxic masculinity yang sebenarnya bahkan bukan dianggap sebagai suatu masalah yang critical di masyarakat kita saat ini?

Based on berbagai kajian dan literatur yang membahas tentang toxic masculinity, author menyimpulkan beberapa hal yang bisa kita lakukan peeps!

  • Mengubah narasi bahwa laki-laki yang mengungkapkan kesedihannya, dan menyampaikan keluhan-keluhannya adalah hal yang sangatlah normal bagi seorang manusia, tanpa memandang ia seorang laki-laki atau perempuan.
  • Menormalisasi bahwa laki-laki juga sangat wajar meminta bantuan atau meminta diajari sesuatu yang tidak dipahaminya
  • Mengubah dan memperbaiki pola asuh anak sejak dini, meskipun budaya toxic masculinity sudah mendarahdaging di masyarakat kita, bukan berarti hal ini tidak bisa diubah peeps, kalau saat ini kamu adalah seorang orang tua baru atau saat ini memiliki keponakan laki-laki, hal ini bisa kamu terapkan ke si kecil, seperti memvalidasi perasaan sedihnya, rasa sakitnya ketika ia terluka, dan sebisa mungkin hindari menggunakan kata “eh jangan nangis, cowok nggak boleh nangis”, “cowok harus kuat”, kurangi sikap-sikap yang mengalihkan rasa sakitnya, biarkan ia mengenali dan berdamai dengan emosi yang dimilikinya agar dia mengerti bahwa rasa sedih, kecewa dan perasaan tidak baik-baik saja adalah hal yang normal untuk ia rasakan bukan malah menyalahkannya atas perasaan yang ia ekspresikan, karena apa yang kita tuliskan pada kertas putih inilah yang kelak akan ia bawa hingga ia dewasa kelak, bagaimana ia menjadi sosok yang dapat membawa kebaikan bagi sekitarnya.

Tidak mudah mengubah narasi yang sudah mengakar sejak dulu di masyarakat kita, terlebih adanya patriarki yang masih tumbuh di masyarakat kita yang sangat besar perannya atas lahirnya budaya toxic masculinity ini, tapi hal ini bukan berarti kita tidak bisa memutus rantai yang ada, kita pasti menginginkan agar generasi selanjutnya lebih aman dalam menjalani kehidupannya kan?, jadi yuk bareng-bareng kita peka sama hal-hal yang sebenarnya critical tapi sering luput dari perhatian kita. Kita manusia dianugerahi berbagai perasaan oleh Tuhan, dan sangat wajar ketika kita mengungkapkannya dengan cara-cara yang baik. Jadi, yuk peeps kita jadi agent of change untuk memutus rantai budaya toxic masculinity ini, karna istilah ini lahir karena adanya sekelompok orang yang meyakininya dan akhirnya semakin luas, berarti kita juga bisa kan mengamini bahwa rantai toxic masculinity ini bisa diputuskan dan bisa jadi cara pandang baru yang jauh lebih baik di masyarakat kita.

Bisa dongg bisa bangettt!!

 

With love,

Author


Sumber gambar: pinterest.com


Komentar

Postingan Populer